Selasa, 06 September 2011

Laptop


Laptop
Oleh
Dwi Permatasari

“Berapa penghasilan orang tua Anda per bulan? Apa pekerjaan orang tua Anda? Berapa jumlah keluarga Anda? Dimana Anda tinggal?” berondong pertanyaan yang keluar dari mulut pegawai cash and credit itu membuat mulutku terkatup. Aku tertunduk lesuh. Uang dua ratus ribu yang tadinya ingin kuserahkan sebagai setoran pertama, kugenggam erat-erat. Aku terdiam. Namun kedua telingaku mendengar jelas setiap kata yang keluar dari mulut pegawai cash and credit yang baik hati itu.
“Bagaimana? Jadi kapan kami bisa monitoring ke rumah Anda?” tanyanya sekali lagi.
Aku terkejut dengan pertanyaannya. Lebih terkejut lagi dengan sikapnya yang tidak bisa mendengar suara hatiku yang menjerit. Oh...alangkah panjang prosedur yang harus dilewati demi sebuah kata ‘ya’ untuk suatu hal yang bernama kredit. Kubayangkan empat pegawai cash and cerdit itu mampir ke rumah kami yang tak berbentuk. Ah..kasihan sekali mereka. Harus melewati gang-gang yang sempitnya minta ampun dan harus rela mencium bau comberan yang mengalir dari selokan yang buntu. Mereka juga harus rela berbecek-becek ria. Kalau mereka ingin pipis, mereka harus berjalan ke empang yang jaraknya 10 meter dari rumah kami. Sebelum itu, mereka harus menggulung celana jeans setinggi 30 centi. Jika tidak, siap-siap saja celana jeans mereka akan basah gara-gara air sungai yang pasang. Cukup!
“Silakan isi formulir persetujuan ini. Maaf, dengan Mbak siapa?”, tanyanya sambil memegang pena, mengambil ancang-ancang untuk menulis namaku yang teramat sederhana.
“Siapa Mbak?”, suaranya terdengar renyah di telinga.
Aku masih bengong. Sementara, pegawai yang berada di depanku ini masih bersikap sama, tersenyum.
“Siti.”, kataku spontan.
“Maaf Mbak Tika.” Kali ini, aku menyebut namanya yang tertera di seragam yang ia pakai.
“Kenapa?”
“Saya ada urusan. Mungkin lain kali saja saya ambil kredit di sini.”
“Apa? Tidak jadi?” katanya setengah melotot.
“Iya, Mbak. Mungkin lain kali saya ke sini lagi. Saya tadi cuma mau nanya.” Aku menutup kalimatku dan angkat kaki dari ruko dua lantai itu.
Kutinggalkan kursi empuk untuk pelanggan cash and credit yang baru saja kududuki. Wajah ramah Mbak Tika tiba-tiba berubah seperti sayur asam yang dimasak kemarin sore lengkap dengan omelan-omelannya. Ia melampiaskan kekesalannya dengan menambah lipstik merah marun di bibirnya dan memoles bedak padat di wajahnya yang oriental. Mungkin untuk membuang sial atas kedatanganku yang hanya menghabiskan waktunya dengan bertanya ini itu tanpa kepastian untuk membeli atau kredit. Maafkan aku Mbak Tika. Aku tidak ingin kalian rugi hanya untuk mengetahui keadaan rumahku dan memutuskan apakah aku layak diberi kredit atau tidak. Ah..tidak perlu repot-repot. Aku sudah tahu jawabannya.
Rintik-rintik hujan mengiringiku menuju halte. Kupangang langit yang mendung. Ada rasa kecewa yang menusuk-nusuk.
Kubiarkan baju dan jilbabku basah ditimpa rintik hujan yang kian deras. Biar. Biarkan hujan membasahiku. Asalkan jangan ada setetas air mataku yang jatuh. Hari ini, satu mimpiku telah ambruk. Impianku untuk memiliki laptop usai sudah. Ternyata, kreditan laptop tak semudah yang aku bayangkan. Tak sagampang yang diucapkan orang-orang, juga tak seenteng seperti yang tertulis pada brosur yang aku temukan seminggu yang lalu.
Kupandangi langit sore yang kelabu. Rintik hujan jatuh satu per satu. Kucoba mengukir senyum di wajahku yang basah kuyub. Ah...betapa sulitnya itu kulakukan saat ini.
Di halte yang sepi, aku sendiri dengan angan-anganku untuk membeli laptop. Laptop. Benda itu telah menjadi obsesiku. Benda itu telah membuatku tak bisa tidur. Benda itu selalu menggerakkan otot-ototku untuk bekerja agar suatu hari nanti aku bisa memilikinya. Sejak awal masuk kuliah hingga sekarang, aku masih terobsesi dengan keinginanku itu. Amboi, alangkah bahagianya ketika jari-jariku menekat keypad dan menuliskan semua ide yang aku punya. Alangkah bahagianya ketika tugas-tugas kuliah dapat segera dikerjakan, tidak harus repot-repot ke rental komputer segala. Alangkah bahagianya jika menulis skripsi dengan laptop yang bisa dibawa ke mana saja.
“Siti!!”, seru seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh. Kulihat sosok Kirana yang berdiri memakai payung. Ia menuju halte.
“Dari mana, Sit?”, tanyanya setiba di halte.
Kirana. Gadis yang paling beruntung di dunia. Dia anak panti asuhan yang diadopsi pengusaha kaya raya. Kami pernah satu kelas di SMA.
“Dari mana, Sit?”, tanya Kirana lagi.
“Dari toko buku, Kir.”, jawabku berbohong.
“Ke toko buku?”
“Iya.” Jawabku dengan berbohong untuk kedua kalinya.
“Kalau begitu, lain kali main ke toko bukuku saja. Di jalan Sudirman dekat Momo Bakery.”, terang Kirana.
Aku tersenyum. Senyum yang pahit.
“Ini brosur toko bukunya.”, ucap Kirana dan menyerahkan selembar brosur full colour lengkap dengan foto dirinya yang rupawan.
Kirana Book Centre. Nama yang menjual. Aku lalu membayangkan namaku yang tertera di plang sebuah toko buku, Siti Book Centre. Ah...kenapa terdengar aneh. Apa karena namaku sudah dinobatkan sebagai icon suatu makanan, seperti Nasi Uduk Bu Siti, Lontong Ayam Bu Siti, Kantin Bu Siti. Ah..ada-ada saja aku ini.
“Siti, mau pulang bareng nggak?”
“Nggak, Kir. Makasih yah.”
Tin..suara klakson marsedes bens terdengar nyaring. Seorang pemuda keluar dari pintu mobil mewah itu dengan payung yag super lebar. Reno.
“Duluan ya Siti.”
“Ya..” jawabku sekenanya.
Baiklah Siti. Mari kita melanjutkan hidup. Lupakan laptop. Lupakan obsesi murahan pada benda itu. Lupakan semua anganmu yang ketinggian itu. Masih untung bisa kuliah!
Aku memarahi diriku sendiri. Aku mengutuki diriku sendiri. Aku pulang dengan perasaan kecewa sedalam-dalamnya dan keinginan untuk bangkit lagi setinggi-tingginya.
***

Keinginanku untuk melupakan laptop hanya di mulut saja. Sampai detik ini, di dalam angkot yang hingar-bingar dengan bau pasar beradu dengan bau keringat para kuli gerobak, aku masih memikirkan laptop. Memikirkan benda yang harganya setara dengan dua tahun panen singkong.
Mungkin, kalau aku tidak berada di kelas yang semua mahasiswanya memakai laptop, aku tidak seobsesif ini. Aku mungkin rela mengantri untuk rental komputer. Tapi..kadang kecemburuan sosial bisa membuat seseorang menjadi gila. Parahnya, akulah korban dari kecemburuan sosial itu. Aku tidak bisa menutupi keinginanku untuk memiliki laptop. Aku sangat membutuhkannya untuk tugas-tugasku, skripsiku, juga menulis kisah cerpen dan novel. Semuanya ingin kuwujudkan jika aku punya laptop.
Aku tidak bisa tenggelam dalam kenyataan kalau aku tidak akan memiliki laptop. Syukur-syukur masih bisa kuliah! Begitu omel ibuku tiap kali aku mengutarakan keinginanku. Jadilah aku stes seorang diri. Ibu benar, orang kecil seperti kami tidak layak berpikir besar dan berangan-angan besar. Ibu mungkin ingin membuka mataku lebar-lebar dan menunjukkan 6 huruf yang harus diingat oleh otakku, yaitu M-I-S-K-I-N.
Tapi aku tidak bisa satu pemikiran dengan ibu. Aku percaya bahwa aku bisa membeli laptop. Seandainya uang beasiswaku tidak dipakai oleh Ibu untuk melunasi hutang-hutangnya dengan Haja Mar, mungkin aku bisa membeli laptop, second pun tak apa!
Tapi, sekali lagi Ibuku benar. Ia melakukan itu karena ia telah berhutang untuk melunasi iuran masuk kuliahku. Aku kembali tertunduk lesuh. Mengapa takdir tak berpihak kepada keluarga kami sedikit pun!
Aku sampai di rumah hampir maghrib. Pasti ibuku kembali mengomel! “Anak gadis pulang maghrib-maghrib! Mau jadi apa!!”, bentaknya dengan suara 8 oktap.
Kubuka pintu kayu pelan-pelan. Benar saja! Ibuku sedang mengisi minyak tanah di lampu teplok.
“Assalamualaikum,”
“Kumsalam.”jawab ibu sekenanya.
Aku langsung ke dapur dan mengambil handuk. Adik-adikku telah pergi bersama ayah ke masjid. Tinggal aku dan ibu di rumah.
Sampai waktu Isya, aku tak mendengar ibu mengomel apa pun. Apa ibu sangat marah sehingga ia tidak ingin bicara padaku lagi?
“Siti..”
“Ya, Bu.”, Aku menyahut cepat. Kutemui ibu yang sedang melipat pakaian.
“Sudah ketemu laptop yang kau inginkan?”
Kalimat itu terdengar asing. Tumben-tumbennya ibu peduli dengan keinginanku.
“Belum, Bu.”
“Syukurlah.”jawabnya singkat.
Alamak! Jadi ibuku ini senang jika anaknya tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Batinku kesal.
Ibu berdiri. Ia mengambil senter dan beranjak menuju lemari satu-satunya di rumah kami. Ia membawa kotak berukuran besar dan nampaknya berat.
“Apa benar ini yang namanya laptop? Ibu kurang tahu betul.”, kata ibu sambil menyerahkan kotak itu padaku.
Aku gemetaran. Apa benar isi di dalamnya adalah laptop atau hanya tumbukan singkong. Kalau benar ini tumpukan singkong, aku akan menyatakan perang dengan ibu!
Kubuka perlahan kotak itu. Ibu membantu menyinari. Aku terdiam. Amboi..ini benar-benar LAPTOP!!!
Aku lekas mengeluarkan semua yang ada di dalam kotak. Masih bau toko! Pasti ini laptop baru! Aku girang minta ampun. Akhirnya, aku bisa menulis skripsi dengan laptop ini. Aku juga bisa online dengan teman-temanku. Selamat tinggal rental komputer. Selamat tinggal warnet! Asyiiik!
“Tapi, rumah kita kan belum ada listrik, Sit.”, tanya ibu polos.
“Tenang, Bu. Siti nyolokin laptopnya di kampus aja. Siti isi penuh baterenya.”
Ibu kini seperti malaikat yang turun dari langit. Siapa sangka dia sangat baik. Aku yang anaknya saja sukar menebak. Kubawa laptop itu ke kamarku yang beralaskan kasur tipis.
Tanpa sadar, aku sudah 4 jam mengutak-atik laptop baruku. Asyik!! Besok pagi akan kulanjutkan di kampus. Tapi, dari dinding bambu kamarku, kudengar suara ibu dan ayah sedang berbicara dengan seseorang. Apa kami ada tamu?
Aku mengintip dari lobang kecil kamarku. Samar-samar, kulihat tamu yang sedang berbicara dengan kedua orang tuaku. Astaganaga! Itu Pak Hajar, orang paling kaya sekaligus paling pelit di kampungku, atau mungkin di dunia!
“Maaf, Pak. Apa tidak bisa dikecilkan lagi bunganya.”suara ibu terdengar lirih.
“Iya, Pak. Kami mohon. Kalau kami harus menggadaikan kebon singkong kami, mau makan apa kami, Pak.” timbal ayahku.
“Tidak bisa! Pokoknya itu sudah kesepakatan atau barang itu saya cabut kembali dan kalian harus membayar ganti rugi dua ratus ribu karena sudah melanggar perjanjian.”
“Jangan diambil barang itu, Pak. Anak saja sangat membutuhkannya.” Ibu kembali memelas.
Barang? Barang untuk anak? Jangan-jangan..
Aku terduduk lesuh. Sementara, kedua orang tuaku memelas pada manusia pelit itu. Mana mungkin aku bahagia, sementara kedua orang tuaku tersiksa? Mana nuranimu Siti!
Kubereskan laptop baru dan mengemasnya rapi di dalam kotak seperti sedia kala. Suara ayah dan ibu tak terdengar lagi, begitu pun suara rentenir itu. Besok pagi, aku berjanji, dunia akan baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja tanpa laptop atau tanpa fasilitas apa pun.
***
Esok paginya, ibu membuat sarapan seperti biasa. Ayah juga mengemasi perkakas bertani seperti biasa pula. Seolah, tadi malam tidak ada acara mohon-memohon yang dilakukan kedua orang tuaku pada rentenir macam Pak Hajar.
“Ibu...sepertinya laptop itu tidak begitu dibutuhkan sekarang.”
Ibu yang sedang meniup api menoleh ke arahku. “Kenapa memangnya, Sit.”
“ Siti akan baik-baik saja tanpa laptop atau tanpa fasilitas apa pun”
“Tugas-tugas kuliahmu bagaimana?”, timbal ayah.
“Ayah..Ibu, Siti minta maaf. Mana mungkin Siti sarjana namun membuat ayah dan ibu sengsara. Itu tidak membuat Siti bangga sedikit pun.”
Aku lekas sarapan dan membawa laptop itu ke rumah Pak Hajar. Uang dua ratus ribu yang tadinya ingin kujadikan setoran pertama kredit laptop, kuikhlaskan untuk Pak Hajar. Suatu hari nanti, Pak Hajar yang pelit nauzubillah itu, akan ‘dihajar’ Tuhan.
Aku kuliah seperti biasa. Tugas-tugas kekerjakan tepat waktu. Dengan atau tanpa laptop, toh aku masih bisa kuliah seperti biasa.
“Sit...Siti selama ya” ujar Kirana tergesa-gesa.
“Selama apa?”
“Selamat, risetmu tentang singkong disetujui Pak Dekan.”
“Serius?”
“Iya. Ini surat keputusannya.” Kirana menyodorkan selembar surat padaku.
Yes!! Akhirnya, proyek isengku disetujui pak dekan. Aku akan memberi tahu ibu.
Ibu tersenyum penuh arti. Entah itu senyum bangga atau senyum yang mengatakan aku aneh. Entahlah, tapi aku suka dengan ideku, selei singkong. Hehe.
Ide selei singkong terus aku kembangkan dan aku menjadi mahasiswa pertama di Fakultas Pertanian yang mendapat proyek kerja sama dengan perusahaan Jepang. Mereka mengapresiasi selei buatanku dan akan memproduksi dalam jumlah besar. Aku pun mendapatkan laptop gratis untuk menulis resetku. Aku juga membuat hak paten dan mendapatkan nama untuk seleiku, tentunya bukan Nasi Uduk Bu Siti atau Siti Book Center karena itu jelas tidak nyambung. Aku membuat lebel SSS yang merupakan singkatan dari Selei Singkong Siti. Sederhana tapi what ever!
Dan beginilah hidup. Mungkin benar apa yang diucapkan Andrea Hirata, Tuhan tahu tapi menunggu. Ya, kemarin, belum waktunya aku memiliki apa yang aku suka. Mungkin Tuhan memberikan waktu yang tepat, kapan aku bisa mewujudkan cita-citaku, memiliki laptop. Kalimat manjadda wajaddah yang ditulis A. Fuadi juga terbukti. Barang siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan. Mungkin Tuhan bosan dengan doaku yang itu-itu saja. Jujur, aku selalu berdoa agar aku bisa memiliki laptop. Tapi, kalau aku saja tidak begitu terobsesi dengan laptop, jalan ceritanya tidak akan seperti ini. Salam SSS (Selei Singkong Siti).

Bukit Besar, Minggu,19 Juni 2011