Kamis, 21 April 2011

Diary digital

Dunia semakin edan! teknologi pun semakin menggila! Tapi aku tetaplah aku. Seorang dwi Permatasari yang dianugerahi Allah kesempatan, kemauan, semangat, dan cita-cita. Umurku sekarang masih 19 tahun. Oktober nanti akan genap berusia 20 tahun! Ups...inikah rasanya berkepala dua? Sadar atau nggak, zaman sudah berubah. Dulu, waktu masih putih merah, aku rajin banget nulis diary, dari yang covernya warna vink, gambar kue tar, gambar doraemon, atau cuma buku tulis yang kubagi dua, satu buat catatan ngitung-ngitung angka, satu lagi buat diary!
Ya, aku akui, aku dan masa kecilku tidak lepas dari dua buku, iqra' dan buku diary. Entah kenapa, aku senang banget nuli. mulai dari nulis biodata, puisi, cerita, samopai kegundahanku saat ibuku tak pernah membelikan meja belajar baru untuk kami! Begitulah, aku mengenal diary, sebuah buku yang akan mengisi cerita-ceritaku.
Menginjak SMP, aku tambah giat nulis diary! Bagiku, SMP pasti akan seru! Makanya, aku sediakan buku diary yang gede biar muat semua cerita zaman SMA. Tentunya, di diaryku yang baru ini, akan sedikit cerita Gang Power Ranger yang anggotanya aku, ayuk ujik, Heryanto, Ari, Sepol. Aku mungkin tak akan menceritakan pengalaman jadi pesepak bola wanita pertama di SDku tercinta (SDN 3 maeranjat). Tidak ada lagi kenangan ngaji bareng Eceh, agus, Niovia, marry, Esi, Bodug. Itu semua karena kita nggak satu sekolah lagi,...Huhu
Next, SMP bener-bener gudangnya bakat. Aku mulai mencicipi banyak eskul dan bergonta-ganti kelas, dari predikat kelas buntut (VI) sampai ke kelas unggulan (I). Jujur, aku sangat menikmati prestasi SMP yang secara dahsyat memompa keyakinanku dengan kekuatan otakku yang tak kuduga ini. dan itu semua kuabadikan dalam sebuah diary yang lusuh. Di SMP juga, secara tak sengaja, aku menemukan diary Ibuku. Wooow...! Rupanya ibuku juga rajin nulis diary! dan ibu curang, cover diarynya lebih bagus dari diary punyaku. covernya gadis belanda yang anggun dengan pandangan yang pasti! seketika, aku ingin mengikuti selera ibuku! Aku ingin dianggap dewasa dengan sampul diary yang juga dewasa. tak dinanya, aku membeli diary yang menurutku tidak terkesan kanak-kanak.
SMA!!! Emang bener apa kata orang! masa0-masa SMA adalah masa-masa yang membahagiakan. Penuh sengat mendapatkan cita-cinta dan sedikit cerita cinta. Aku mengimbanginya dengan sebuah diary yang aku beli di Toko Buku Sumber Mas, sebuah buku diary yang menyejukkan siapa saja yang memandangnya, berwarna hijau muda dengan jumlah halaman 200! Terang saja, baru aku beli, tuh diary udah dicoret-coret oleh tanganku yang kagak nahan!
Karena rajin nulis diary, aku lebih milih curhat sama dia, sampaqi akhirnya aku sadar, diary bukanklah seseorang yang bisa tersenyum, memberi saran, atau marah jika tindakan kita salah. Diary hanyalah buku yang kita percaya akan menjaga rahasia. tapi, itu tidak berlaku untuk kehidupan sesungguhnya. satu sisi, kita legah telah menuangkan perasaan dengan menulis, tapi disisi lain, kita butuh seseorang untuk mendengar cerita, memberi feedback. Dan itu tidak bisa dilakukan oleh diary..
But, apapun pendapat yang ada, setidaknnya dengan diary, aku bisa membuka kenangan-kenangan yang mungkin bisa hilang. Kini, diary menjadi kata kunci suatu kejadian dalam hidupku. Aku ingin, jika aku telah tiada, ada orang yang tahu kisah hidupku, cita-citaku, orang yang aku kagumi, keinginanku, dan apa yang terpikir olehku. Mungkin, diary-diary itu jadi saksi hidup. meskipun ia tidak bisam bicara, toh semua orang bisa membaca.
Sekarang, di abad dua satu, kutinggalkan pena dan kertas dan melirik sebuah kotak dengan cahayanya yang menyilaukan mata. kotak itu berisikan kata-kata, gambar, tapi ajaibnya dia bisa membuat kita menuliskan apa yang sedang kita pikirkan. Dalam kotak itu, ada halaman yang bisa menuntun kita untuk berbagi. Dialah diary digital yang aku kenal bernama blog. Terima kasih! semoga kita menjadi penulis dengan memulai apa yang kita pikirkan, apa yang kita inginkan, seperti anak kecil yang sedang menulis diary sambil menguyah lolipop. -DwiP-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar