Jumat, 28 Mei 2010

Transformasi Akhlak dalam Syair-Syair Praangkatan

Transformasi Akhlak dalam Syair-Syair Praangkatan

Pada hakikatnyam Tuhan memberikan anugerah yang luar biasa kepada manusia. Manusia memiliki cipta, rasa, dan karsa. Dengan cipta, manusia memiliki bakat alami untuk menciptakan/membuat sesuatu sesuai dengan benaknya atau pikirannya, seperti memciptakan karya sastra. Dengan rasa pula, manusia dapat mengikat emosi untuk karya ciptanya, dan karsa akan membantu untuk menuangkan hal-hal yang mampu dikembangkan. Manusia dapat menggunakan potensi yang ada untuk berkarya seni, sebagaiman yang dikemukakan oleh penyair Mursal Ensten dalam bukunya Kritik Puisi, bahwa antara semesta, manusia, dan karya seni, masing-masing memiliki keterkaitan. Melaui semesta (alam), manusia terinspirasi, dan lahirlah karya sastra.
Bukti bahwa manusia itu mampu menghasilkan karya sastra dapat kita cermati dari banyaknya syair-syair dan sajak yang sering dibacakan oleh orang tua, ataupun nenek kita yang telah berusia lanjut. Sajak-sajak maupun syair yang sering ditembangkan orang tua dulu, atau yang sering dibacakan oleh beberapa orang di suatu kesempatan, tak lain dan tak bukan adalah contoh nyata adanya karya sastra yang telah berkembang di tengah masyarakat Indonesia meskipun waktu itu budaya baca tulis masih minim.
Dalam dunia kesusastraan, jenis-jenis puisi lama, syair, atau sajak yang dikemukankan di atas, dapat digolongkan ke dalam bentuk karya sastra pra-angkatan. Dalam KBBI terbitan Balai Pustaka Pra berarti sebelum, dan kata angkatan berarti generasi. Bila merujuk pada istilah sastra, kata pra-angkatan muncul untuk menandakan karya sastra yang ada sebelum generasi ’45 atau Angkatan ’45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Selain ‘Bentuk Pra-angkatan’, beberapa pengarang mengistilahkan karya Pra-angkatan dengan Bentuk Puisi Tradisional. Di antara pengarang-pengarang tersebur adalah M. Semi Atar dalam bukunya Anatomi Sastra. Atar menuliskan bahwa puisi tradisional mempunyai pola atau bentuk yang tetap, artinya ia tersusun dalam suatu sistem susunan tertentu yang tidak dapat diubah; bila diubah maka eksistensinya menjadi hilang atau goyah. Puisi Indonesia Tradisional terdiri dari :mantra, syair, gurindam, seloka, bahasa berirama, pribahasa, dan lain-lain.
Lebih lanjut, Atar sepintas menerangkan bentuk-bentuk puisi pa-angkatan. Bentuk puisi yang tertua adalah mantra. Mantara ini tumbuh dan berkembang secara lisan di tengah masyarakat. Mantra merupakan ucapan yang diucapkan oleh dukun atau pawang. Satu ciri khas mantra adalah, ia mementingkan irama dan repetisi. Cirinya yang lain, hampir tidak mempersoalkan kehidupan atau nilai-nilai. Setelah mantra, maka pantun merupakan bentuk puisi yang juga paling tua. Di antara puisi Indonesi, pantunlah yang milik Indonesia sejati, selebihnya adalah bentuk puisi yang mendapat pengaruh dari luar seperti Hindu dan Arab.
Bentuk lain dari puisi pra-angkatan adalah syair. Syair merupakan puisi yang tumbuh dan bertunas setelah masuknya peradaban Islam ke Indonesia. Kata syair berasal dari kata syu’ur yang berarti perasaan. Bentuknya hampir sama dengan pantun. Syair digunakan untuk melukiskan hal-hal yang panjang, misalnya tentang suatu cerita, ilmu, soal persahabatan, dan lain-lain.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, syair yang sering digunakan sebagai pengenalan sastra di usia dini (ketika pegajian) juga digunakan sebagai media pengampaian pesan atau nasihat. Artinya, syair yang diucapkan atau dilafalka tdak hanya sekedar deretan kata-kata yang apik namun juga dapat dijadikan bahan perenungan yang dalam hal ini kegiatan mentadaburi syair atau sajak. Perhatikan sajak yang ditulis oleh ‘Aidh al- Qarni berikut:
Segala puji bagi Allah yang memeliharaku,
Menepiskan kebutaan dari hariku, membimbingku,
Menolongku dengan kemuliaan dan meneguhkan buktiku,
Sedang aku rentan dari segala dosa dan kekurangan,
Shalawat dan salam teruntuk Muhammad
Manusa terbaik dan pilihan Tuhan.
...
Inilah senandung bagi orang yang sukses;
Mereka yang memiliki semangat bagai bintaang kejora
Aku ciptakan bagi mereka yang bertekad baja
Untuk mereka yang mulia dari saudara-saudaraku
Wahai orang-orang yang mencitakan keutamaan
Menuju taman firdaus dan keridhaan
Dengar dan kerjakan nasihatku ini,
Jagalah semua itu dengan sekjuat tenagamu
Dengarlah seruan ini, berlombalah! Bersegeralah!
...
Juga perhatikan syair singkat yang dilafalkan anak-anak kecil di surau berikut ini:

Barang siapa yang ingin bahagia di dunia
Harus dengan ilmu.
Barang siapa yang ingin bahagia di akhirat
Harus dengan ilmu.
Barang siapa yang ingin bahagia di kedua-duanya
Harus dengan ilmu
Harus dengan ilmu.

Atau syair berikut:
Sepohon kayu daunnya rimbun
Lebat bunganya serta buahnya
Walaupun hidup seribu tahun
Kalau tak sembahyang
Apa gunanya.

Kami sembahyang fardu sembahyang
Sunat pun ada bukan sembarang
Supaya Alah menjadi sayang
Kami bekerja hatilah riang.

Kami bekerja sehar-hari
Untiuk belanja rumah sendiri
Hidup di dunia tiada berarti
Akhirat di sana sangatlah rugi.


Dari beberapa contoh syair dan sajak di atas, kita dapat mengambil hikmah dari setiap kata yang membentuknya. Hal inilah yang dapat dijadikan bahan untuk merenung atau mentadabur. Adanya sajak-sajak yang diujarkan di lingkungan anak-anak usia dini dapat dijadikan media pendidikan moral dan menanakan benih-benih kebaikan pada anak-anak yang bila telah dewasa nanti dapat dirasakan manfaatnya dan ditadaburi makna atau nasihat yang dikandungnya, seperti pada sajak pertama menyuruh kita untuk berlomba-lomba dan jangan sampai tertinggal, sajak kedua berupa amanat bahwa dengan ilmu kita dapat hidup bahagia dunia maupun akhirat, serta syair ketiga bahwa hidup hendaklah dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk ibadah, bekerja, dan selalu ingat akhirat. Bila sajak dan syair tersebut direnungkan, tentunya akan banyak nasihat yang dapat digali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar