Kamis, 29 April 2010

Bila Erik Tak Meninggalkanku

April 2009.

Kadang aku bertanya sendiri, kenapa Tuhan menciptakanku sebagai seorang perempuan? Kenapa bukan seorang laki-laki? Dan kenapa pula aku terlahir menjadi seorang pemimpi feminis yang selalu membawa mimpi-mimpinya dalam tempurung kepala di mana pun aku berada? Kenapa Tuhan memberiku memori yang kuat untuk mengingat semuannya, mengingat hal-hal mikro sampai hal-hal makro sekalipun!! Ah, aku terkadang bosan! Kenapa aku tak seperti Sri hartati saja, teman sekelasku yang tampaknya takj begitu memikirkan hidup. Baginya semua mengalir seperti Air. Baginya dunia ini cukup dijalani dengan kapasitas masing-masing! Aku tak tahu, dari mana ini mendapatkan filosofi itu, buku apa yang ia baca sehingga mukanya menampakkan ekspresi yang sama dalam situai yang sama, yaitu santai. Tapi aku tidak! Berkali-kali aku ingin mengubah karakter layaknya seorang sri Hartati yang selalu masuk kuliah hampir tak pernah on time itu.

Namun, berkali-kali pula aku harus gagal menjadi copy pastenya seorang wanita berambut kriting seperti sri! Bagiku, hidup tak bisa hanya mengalir saja! Aku harus membayar semuanya!membayar masa kcilku yang tak pernah menyentuh boneka barbie. Membayar masa kecilku ketika tak punya tempat berteduh, juga membayar cacian-cacian orang ketika aku meminta sedikit rupiah dari kocek mereka. Aku ingin menagis mengingat itu semua. Sampai air mataku ingin tumpauh semua. Tapi, sebisa mungkin kutahan itu. Kutahan agar ia tidak keluar, agar aku tampak gagah, tampak kuat, meskipun ada retak-retak dan pilu yang menyerang di bagian tubuhku yang tak kasat mata, yaitu hati.

Semua kulakukan untuk mimpiku yang terlalu tinggi. Untuk mimpiku yang bermodalkan dengkul!!

Kini ketika mimpi itu nyaris kugenggam, aku bertanya pada Tuhan, kenapa ia mngambl satu-satunya motivasiku dalam hidup? Kenapa dia mengambil harta terbesar dalam hidupku? !! kenapa Tuhan?

Erik. Samuel Erik Prabowo. Adikku, harta terbesarku, kini tersenyum di surga bersama Papa Mama. Dan sekarang aku sendirian. Sebatang kara, duduk termangu di bangku gereja. Aku tak tahu, untuk apa aku sekarang hidup! Semua tak berguna lagi! Semua sia-sia.

“pulanglah anakku.” Ujar Uskup saat aku masih berada di bangku gereja. Menungpahkan tangisku. Mengadu pada Tuhan yessus. Dan berharap ia mengembalikan Erik!! Mengembalikan Erik lagi, agar aku bisa semangat lagi. Erik adalah bensin yang menggerakkan mesin-mesin di otakku. Dia membuat aku sadar, untuk siapa aku berjuang. Tapi, Tuhan!! Kau ambil dia!! Kau ambil urat nadiku!! Dan akupun serasa mati sekarang!!mati Tuhan!!

Bibirku tak hentinya berdoa. Firan-firman Tuhan kubaca. Semuanya kulakukan agar erik kembali, meski itu tak mungkinn. Kenapa harus Erik!! Kenapa bukan aku saja yang dilindas Truk keparat itu!! Kenapa harus Erik yang masa depannya masih panjang! Aku berdoa dalam gelap. Kututup mataku dan membiarkan air mata jatuh membasahi anrok hitan yang kupakai.

“bukalah matamu, kasih.” Terdengar suara Pastor Andre.

Tapi aku tetap larut dalam diamku. Tak kuhirau dia, meski tadinya aku begitu mengagumi Pastor muda itu. Begitu menyayanginya. Tapi, kini tak ada sayang melibihi sayngku pada Erik yang tak bisa lagi kusentuh!!

“kasih...” ujarnya lirih.

“kami mengasihimu, begitu pun Tuhan! Lihat, Erik sudah tersenyum di surga” suaranya terdengar lantang dan tegas.

“pergi...” kata itu keluar dari bibirku tanpa terkendali.

Meski mata tertutup, aku tahu sedikitpun pastor Andre tak bergeming, sesenti pun ia tak melangkahkan kakinya pergi.

@@@

Seminggu setelah kematian Erik

Jika aku bertemu tuhan di surga, maka itu berarti Tuhan menyayangiku. Tapi, jika tidak, berarti ia tak menyayangiku yang selalu membaca firman-firmanya. Tak mengizinkanku bertemu Erik, Mama, dan Papa.

Kulirik jam yang menempel di dinding kamar kontrakanku. Pukul 09.00. waktunya persis dengan waktu kematian Erik. Hari ini, sang pemimpi fenimis akan tinggal sepotong kisah yang belum usai. Kini, sang pemimpi feminis menyerah pada hidup, dendam pada nasib, dan marah dengan kemua ketidakberdayaan!

“selamat tinggal dunia yang kejam...”ujarku lirih sebelum meneguk segelar racun serangga. Guk...kuteguk cairan penjemput maut itu dan itu dengan lancar melewati kerongkonganku. Tanpa kendala, mulus, dan seketika pandanagnku gelap. Apa aku telah mati?

@@@

Samar-samar, daun telingaku yang maih berfungsi, mendengar suara yang mirip nyanyian, berirama, merdu, dan tenang. Begitu tenang.

Perlahan, ada kekuatan yang membuat mataku terbuka. Aku belum mati!! Ini bukan surga atau neraka! Tapi ini rumah sakit! Srgah otakku yang masih berfungsi. Kulirik wanita tua di sampingku. Ia belum menyadari kalau mataku kini terbuka meski aku tak bsa berkata-kata. Ia larut dalam buku kecil bertuliskan Yassin. Yassin!!

“hentikan!!” aku ngin teriak tapi aku tak bisa. Lidahku tak mampu menggapai langit-langit lidah sehingga tak satu huruf pun keluar.

Wanita itu semakin khusuk membaca. Namun terdengar tenang. Siapa dia?

“fasubhanalazi biyadihi mala kutu kullisaiin wailaihi turjaun...sadakaullah hul azin................” diciumnya buku ukuran 15x15 cm itu.

Dan tampak terkejut dengan keadaanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar