Sabtu, 03 April 2010

UPS..ASAL NGETIK

Bab 1

Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dijawab dengan logika. Misalnya cinta. Bagiku atau bagi sebagian orang di dunia ini, cinta seolah suatu perkara yang tak berujung hingga akhirnya banyak pujangga yang merasa bingung akan kata yang entah kapan munculnya. Dan sekarang...aku akan menjadi bagian dari kisah cintaku sendiri. Ah..tidak, tepatnya kisah cinta dan cita-cita karena aku meraih keduanya dan berusaha menggenggam keduanya secara bersama-sama.

Aku terlahir sebagai sosok yang berusaha menggapai cita-cita. Cita-cita. Kata yang sepertinya lekat betul ditempurung otakku. Dan terkadang cukup satu kali enter untuk memunculkannya secara otomatis di ingatanku. Tuhan, ini anugerah atau musibah? Entahlah. Tapi satu hal yang aku tahu, aku hidup untuk kehidupan yang lebih baik.

Aku yakin, tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang bangga dengan kemiskinan, yang betah dengan kekurangan, yang menikmati krisis demi krisis. Kalau pun ada, toh pasti ia adalah sosok yang telah bosan dengan harta berkarung-karung, emas berpeti-peti,juga baju yang bejibun di dalam lemari. Lalu... menginginkan ketenangan setelah ketenaran yang ia miliki terlalu cukup. Yah...seperti kebanyakan yang diangkat menjadi sinopsis cerpen, novel, bahkan film layar lebar. Entahlah...satu yang aku tahu, tak ada yang betah dengan kemelaratan.

Begitu pun diriku. Tak banyak yang tahu kalau sedari umur 6 tahun, aku telah memiliki satu ambisi, yaitu menjadi orang kaya. Terdengar ambisius dan lebai. Tapi aku tak peduli. Kalau pada kenyataannya memang demikian, ya begitulah aku. Sejak aku tak punya mainan untuk bermain, sejak aku tak punya bacaan untuk dibaca, sejak aku tak punya pakaian untuk dipakai, sejak aku tak punya rumah untuk berteduh. Aku berjanji untuk bermain-main dengan roda kehidupan. Bila perlu aku sendiri yang akan memutarnya. Pikirku lancang kala itu.

Ah...tapi ambisi tinggallah ambisi. Seolah ban sepeda yang bocor, begitulah semangatku kian hari kian tak berisi. Rupanya peru t telah menelan pikiran bocah kecil kelas 4 SD. Dari sini aku paham, kita hidup juga perlu makan. Maka aku seolah melupakan ambisi yang entah kapan menjadi aksi.

Setiap hari aku berharap ada keluarga yang tak punya anak yang mau mengadopsiku. Aku ingin seperti Melin yang kini semakin diperhatikan papa dan mama barunya. Aku ingin seperti Dito yang kini tampangnya putih bersih karena diurus. Aku juga tak menolak menjadi Ratih yang diadosi pengusaha sukses di Jakarta. tapi...nasib ya nasib. Begitu orang dangdut bilang, aku tetaplah menjadi Kiki. Ya, Kiki tanpa embel-embel apapun.

“Sedang apa kamu, Ki?” tanya Bu Laras tiba-tiba.

Segera kututup buku tulis berkover batik coklat.

“lagi iseng, bu.” Jawabku bohong.

“em...iseng apa iseng. Kamu kok dar tadi khusuk banget. Lagi nulis apa hayo????”

“beneran, Buk. Saya nggak nulis apa-apa. Cuma iseng doang.” Kataku membalas guyonannya.

“serius juga nggak apa-apa toh, Ki. Yowes, kamu dipanggil Bu Ratna. Katanya penting.”

“oh,ya. Makasih buk. Bentar lagi saya ke sana.”

Bu laras, wanita tambun itu meninggalkanku sambil menuju ke daputr umum.

Lekas kutinggalkan pohon beringin tua, tempat aku biasa menuliskan semua yang ada di benakku.

Ruang kantor panti tampak sepi. Tak kudapati bayangan Bu Ratna. Hanya ada selembar surat edaran di meja beliau. Surat dari sekolahku. Dari warnanya, aku paham, itu adalah surat edaran dar kepala sekolah bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri. Ah, sudahlah....aku tak ingin membebani Bu Ratna dengan membiayaiku. Tidak. Terlalu lancang bagiku untuk meminta beliau membiayai kuliahku. Ini mungkin yang dinamakan ‘belum rejeki’.
“ki...” suara Bu ratna terdengar dari belakang.

Wanita bersahaja tu kini tersenyum padaku.

“ bagaimana? Kamu mau kuliah?”

Aku menggeleng.

“kenapa, Ki?”

“kalau masalahnya biaya, itu tak jadi masalah karena kepala sekolah kamu sudah bicara langsung dengan ibu bahwa kamu dapat beasiswa penuh. Bagaimana?” lanjut Bu ratna.

Aku tetap menggeleng.

“lantas?”

“ sebenarnya...saya ingin bekerja dulu, Bu.”

“kerja apa, ki?” kata bu ratna lembut.

“ apa aja, Bu. Yang penting saya nggak bisa bantu keuangan panti.”

Bu ratna tersenyum.

“ibu sengaja menyiapkan ini semua untukmu, Ki. Karena ibu yakin, kamu bisa.” Ucap bu Ratna sambil memegang bahuku.

“jangan bohongi dirimu sendiri,Ki. Ibu tahu, kamu masih punya cita-cita kan? Jadi, ibu harap, pikirkan masa depan kamu, ki.” Lanjut bu ratna dan meninggalkanku dengan selembar berwarna biru muda.

***

Sampai sore ini, aku belum juga memutuskan untuk mengambil beasiswa itu atau tidak. Ah, Jakarta. terlalu jauh dan kedengaran terlalu wah bagiku. Tapi, bagaimana dengan harapan Bu Ratna, harapan panti, juga kelanjutan pendidikan adik-adik jika aku kuliah?

“ Melamun terus.” Seru seseorang dibelakangku.

Aku tersadar. Kupikir hanya aku yang mengunjungi tepi pantai sore ini. Tapi, aku lupa, Rudi juga saban sore mencari karang di pesisir. Aku hanya tersenyum kecut. Sementara, dua meter dari batu tempatku berdiri, Rudi sudah bermandikan keringat yang bercampur asinnya air laut. Kupandangi sejenak teman sekelasku yang satu ini. Nama lengkapnya Tengku Rudi Putra Bengawan. Nama yang gagah untuk remaja laki-laki yang kulitnya gosong tersengat matahari. Tadinya, aku tak begitu dekat dengan bujang pesisir ini. Namun, nasib yang sama-sama wong cilik di sekolah paling elit membuat ikatan pertemanan dan persaudaraan di antara kami terjalin dengan sendirinya. Mungkin ini yang dinamakan spontan responsibility. Aku mendapati istilah itu di buku sosiologi umum saat ke perpustakaan bersama Rudi.

Sebagaimana eratnya jaring ikan yang ia rajut sendiri, begitulah gambaran rasa solidaritas Rudi terhadap keluarga pamannya. Diulang, keluarga pamannya. Ya, Rudi memang tinggal dengan pamannya karena sama sepertiku, Rudi pun adalah seorang yatim piatu. Yatim saat ayahnya di tembak GAM dan piatu saat Tsunami Melanda Aceh 10 tahun silam. Semuanya dengan lancar ia ceritakan padaku. Walaupun aku setengah menanggapinya, setengah tidak.

“kiki!!” serunya melambaikan tangan. Tampak ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan.

“ada apa, Rud?”tanyaku sedikit penasaran.

Tanpa banyak bicara, ia berjalan mengelilingiku.

“unik kan?” tanyanya saat menunjukkan gelang dari karang-karang kecil.

“lumayan.” Jawabku singkat.

“ambillah.” Ujarnya lalu kembali sibuk dengan jaring ikan di tengah pantai.

Aku hanya tersenyum. Rudi...Rudi. kau memang seniman. Bisa-bisanya memberiku sesuatu yang unik saat aku lagi ragu seperti ini.

“ki, tunggu bentar ya!” serunya sambil memberesi jaring-jaring ikan.

Aku mengangguk. Tak lama, Rudi sudah menemuiku di bibir pantai.

“ada masalah, ki?”

“jangan sok tahu!” jawabku sewot.

“loh, aku memang tahu apa yang ada dipikiranmu. Dari kerutan di dahimu, ada dua pilihan. Ya kan?” tebaknya.

Aku hanya menggangguk.

“sudahlah, tak perlu dikhawatirkan. Ambil saja beasiswa itu, beres bukan?”

“tak semudah itu, rud.”

“justru karena kau memikirannya sulit, maka masalah itu menjadi sulit.”

“tapi, aku tak percaya dngan istilah beasiswa penuh. Terlebih lagi sekolah yang menawarkan. Aku benar-benar tak bisa terima.”

“jadi karena itu? Bukankah kita sudah terbiasa melihatnya di sekolah?”

Aku diam sejenak.

“Rud, sudah sore. Aku mau pulang dulu. Makasih atas masukannya.”

Rudi hanya tersenyum. Senyum yang khas Rano karno karena tahi lalat yang ia miliki.

“thnaks ya Rudi karno!!” teriakku setelah agak jauh.

***

Terkadang, satu kata dari seorang sahabat dapat mengubah sejuta kalimat yang keluar. Begitulah. Rudi, temanku seperjuangan di SMA paling elit telah memberikan sesuatu yang merupakan klimaks dari keputusanku hari ini. Ya, sebuah keputusan yang membuat Bu ratna tersenyum mendengarnya, membuat adik-adik bersorak kegirangan, juga tentu saja membuat Rudi sendiri bangga karena usulnya diterima olehku. Besok, setelah satu minggu libur Ujian Nasional, akhirnya aku ke sekolah lagi. Bukan untuk ikut dalam aksi coret-coret seragam SMA tapi semata-mata ingin mengurus beasiswa penuh ke salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.

Pagi-pagi, seperti biasanya, setelah mengantar dadar gulung ke warung nasi Bu maryam, aku mengayuh sepeda menuju arah utara, ke jalan sekolahku. Tiga tahun, aku melewati jalan ini. Jalan yang setiap lobangnya memiliki kesan tersendiri. Ya, tentu saja berkesan. Lobang yang di depanku, satu meter dari tikungan adalah karya truk-truk kontainer yang memaksa masuk padahal aspal di sini tipis, sedangkan dua lubang yang mirip, itu adalah karya tukang ojek yang tabrakan dengan mobil pick up. Sementara, lubang-lubang kecil yang berjarang 5 meter kemungkinan besar karena jalan ini sudah rentah dimakan usia. Entah zaman presiden ke berapa, jalan ini direnovasi. Yang jelas, terlepas dari kesan jelek yang tersirat dari jalan ini, ada cerita cantik yang mengiringinya. Makanya, aku menamai jalan ini jalan cinta. Walaupun beribu kali Rudi memprotes, aku tak peduli. Inilah dia, jalan cinta!!!

Aku ingat betul. Waktu itu tepatnya, hari sabtu sekitar pukul tiga sore. Sehabis pulang sekolah, seperti biasa aku melewati jalan ini sebagai jalan pulang. Waktu itu musim hujan. Tentu saja sore itu menjadi sore yang mendung. Ditambah lagi suasana gerimis dan kilat nampak menyambar-nyambar. Sebenarnya, ada rasa ngeri ketika meleati jalan ini sendirian. Ya, sendirian karena sobatku Rudi tidak masuk sekolah lantaran pamannya, Mang Dulah masuk rumah sakit. Akhirnya, sore itu aku pulang sendiri. Jalan yang becek membuatku menggiring sepeda tanpa berani menaikinya karena sangat licin.

Tepat di persimpangan jalan yang terdapat lobang besar karya truk-truk kontainer yang pernah kuceritakan tadi, di situlah aku melihat sosok Duta Samudera Wijaya, salah satu kaum adam yang memiliki ketampanan sekelas bintang-bintang Hollywood. Benar-benar bertalenta di bidang apapun. Dialah bintang sekolah.

Kuperhatikan dengan seksama, memastikan mataku tidak salah lihat. Dan ternyata benar, sosok yang berteduh di bawah pohon akasia itu adalah Duta.

Aku ragu untuk menyapanya karena sepintas pun aku tak pernah bertemu secara langsung dengannya. Apalagi bicara. Aku tak pernah. Yang aku tahu adalah profil-profilnya di majalah dinding atau koran sekolah, selebihnya, he just a dream.

Jalan yang aku lewati ini adalah jalanan sepi yang tak ada rumah penduduknya. Ini adalah jalan pintas yang beraspal tipis. Lalu, semakin dekat aku dengan sang bintang, semakin tak ingin aku menyapanya. Aku tak menoleh sedikitpun saat sepedaku melewati mobil sedan warna merahnya. Yang aku lihat dari sikap tubuhnya, Duta sepertinya sedang mnelpon. Mungkin menelpon bengkel untuk memperbaiki mobilnya yang mogok di jalan yang tak bernama ini.

“hei!!” suara ngebas itu menyeru.

“hei! permisi!!”

Aku menoleh. Wajar itu terlihat panik. Tapi, dibandingkan aku, justru akulah yang terlihat panik.

“ya. Kenapa?” tanyaku.

Segera Duta menghampiriku yang terpaku di tengah jalan.

“ini jalan apa?”tanyanya sambil memegang handphone.

“entahlah...”jawabku singkat.

“o...jadi kamu nggak tahu?”

Aku mengangguk.

“ya, sudah. Makasih”.balasnya tersenyum.

Aku kembali menggiring sepeda.

“sorry, kamu anak SMA Galileo juga??”

“iya.”

“kalo gitu, kita satu sekolah. Perkenalkan. Aku Duta. Duta Sam..”

“panggil aja, Duta.” Katanya mengulurkan tangan.

“ya, saya kiki.” Kataku balik meyalaminya.

Sesaat aku tampak kaku. Ternyata, apa yang biasa disajikan sinetron-sinetron layar kaca tak selamanya mirip kehidupan. Toh, si Duta yang kaya, pintar, dan tampan adalah sosok yang cukup friendly. Betul kan??

Tanpa kuduga. Hari itu, hari pertama ada teman di SMA, selain Rudi, yang mampir ke Panti. Dia adalah Duta. Aku tak tahu persis apa yang dia pikirkan tentang tempat tinggalku, tapi beberapa saat setelah perkenalan di jalan penuh lobang, berteduh sebentar sambil menemaninya membetuli mobil secara otodidak dan kubantu dengan pengetahuan otomotif di fisika dasar, akhirnya sedan warna merah itu kini dapat berjalan lagi.

Hari itu benar-benar menjadi hari bersejarah. Hari ketika aku bisa mempunyai satu lagi teman baru yang berbeda dari golongan elit lainnya.

Namun, keceriaan itu tak bertahan lama. Duta, sang bintang sekolah itu harus ikut program pertukaran pelajar ke Perancis. Dan sampai sekarang, aku belum pernah bertemu dengannya lagi. Tak pernah. Mungkin dia akan lupa denganku. Bahkan dengan tanah airnya sendiri karena kudengar dia akan melanjutkan ke Kanada mengambil Study of Medicine. Lalu timbul pertanyaan di tempurung otakku, kenapa rata-rata para pelajar berotak encer negeri ini lebih mempercayakan masa depannya dengan negara lain ketimbang negeri sendiri?? Begitu pun para orang tua yang kaya raya tentu tak segan-segan menyekolahkan anaknya di luar negeri. Tak peduli anaknya benar-benar pintar atau Cuma ikut-ikutan pintar. Tapi, yang penting judulnya adalah “ Luar Negeri!!”

Aku tak peduli apakah Duta akan melupakanku. Apakah kami akan bertemu lagi atau tidak. Tapi satu yang aku peduli, yakni aku tak mungkin melupakannya. Melupakan keramahtamaannya, kebaikannya, kedermawanannya. Dan bagaimana bisa aku melupakan saat dia begitu akrab dengan adik-adikku di panti asuhan. Buku-buku sumbangannya untuk panti, juga saat dia mau berbagi ilmu denganku, mau berbagi cerita, dan mau menjadikan aku temannya. Aku berharap, banyak Duta-Duta lain di luar sana yang seperti Duta Sam..begitulah dia memenggal namanya tanpa mau diikuti nama Pak Wijaya, konglomerat yang memiliki 4 perusahaan diller mobil di Jakarta.

***

Tanpa terasa, sepanjang jalan menuju ke sekolah, aku telah begitu banyak membuka file di otakku yang bertuliskan Duta. Kini, pintu gerbang sekolah sudahdi depan mata. Mobil-mobil mulai berbaris di lapangan parkir. Sementara, seperti biasa sepeda kutaruh di kantin belakang.

“kamu beruntung ya, Ki.” Ucap Pak Naga, sang kepala sekolah yang selalu sinis.

“kamu sekolah di sini karena beasiswa, sekarang kuliah karena beasiswa. Benar-benar mujur” ujarnya sambil membenarkan letak kacamatanya.

“bukan mujur, pak. Tapi saya berusaha. Mendapat nilai baik.”jawabku singkat.

“ya.ya. bapak tahu. Jangan tersinggung dulu.”

“silakan tanda tangan”

Kubaca sekilas kertas bermaterai dari pak naga. Setelah itu, aku baru menandatanganinya.

“besok ada wawancara di gedung Chandra Foundation. Kamu langsung saja ke sana. Besok jadwalnya kamu dengan Jelita Gunawan Prestika. Anak kelas 3.2. kenal?”

Aku mengangguk.

“baiklah. Ini surat pengantarnya.”

“terima kasih, Pak.”

“sama-sama. Semoga berhasil.”

Aku keluar dengan perasaan legah. Legah karena telah berhadapan dengan pak Naga yang terkadang kata-katanya lumayan panas seperti api yang disemburkan naga.

Jelita? Nama itu. Benar-benar membuatku was-was. Terakhir aku berhadapan dengannya saat tragedi pelajaran Olahraga. Tepatnya saat materi pelajaran Praktik bola volly. Aku tak tahu apa salahku. Tiba-tiba dia menghampiriku dan bola volly itu langsung mengenai mukaku. Benar-benar murahan tingkah Lita dan genknya. Dan aku tak menyangka lagi kalau pikiran mereka begitu kekanak-kanakan. Dengan mengalaskan aku telah merebut Duta, mereka mnjadikanku bulan-bulanan yang begitu mudah ditertawakan. Tapi, semenjak kejadian itu pula, aku mulai tahu, aku mulai berani bicara dan melawan mereka. Dan semenjak tragedi pelajaran Olahraga itu, Dutalah yang mendukungku utuk berani melawan mereka. Melawan anak-anak manja yang hanya mengandalkan uang saku orang tua!!

Setelah dari ruang kepala sekolah, aku pun langsung menuju perpustakaan. Kulihat pos surat yang diletakkan di depan perpustakaan. Tak ada surat untukku. Tak ada balasan dari pihak penerbit. Ah...apa tulisanku memang tak layak muat?? Ruang perpustakaan tak begitu ramai. Tak seramai lapangan basket yang dikerumuni anak-anak kelas 1 dan 2 yang ingin melihat perform terakhir dari Lita. Sebuah poster meriah mengambil tempat di majalah dinding dengan judul “the best of Jelita Gunawan Prestika”.hahahai...aku tertawa membacanya. Terkadang aneh. Banyak orang di sekolah ini yang mengaku dirinya artis. Padahal masuk tivi pun belum pernah.

Aku paling suka di bangku ini. Bangku yang tenang. Tempat aku menuliskan banyak hal yang aku saksikan dengan semua panca inderaku. Aku menulis, menghabiskan waktu dengan membaca, juga sesekali mendengarkan curhatan dari Tengku Rudi.

Hari ini, aku ingin menghabiskan waktu di sekolah dengan duduk manis di bangku ini. Membaca beberapa refrensi berbahasa inggris supaya aku bisa terlihat lebih intelek saat interview besok.

***

]

Jangan lupa, kutunggu di Beautiful York, sore ini jam 5. okeh?

Prof. Tengku Rudi Putra Bangawan,M.A.

Begitulah pesan yang tertulis pada sehelai kertas di meja beajarku saat aku baru sampai di kamar. Jam 5. Baiklah, kejutan apa lagi yang akan ditunjukkan Rudi.

***

Beautiful York. Begitulah aku dan sahabatku Rudi menamai tempat ini. Tepi pantai yang masih jauh dari tangan-tangan jahil manusia. Tempat yang biasa aku temui setelah mengambil dagangan dadar gulung di warung Bu maryam. Aku senang di sini. aku tenang di sini. Dan di sinilah tempat aku sering menulis selain di pohon beringin tua di depan panti. Indah memang. Apalagi sore-sore, kau akan melihat pemandangan kawanan burung-burung putih pulang ke sarangnya, menandakan petang dan mengisyaratkan malam akan menutupi cerahnya siang. Andai aku punya handycame atau kamera, aku pasti telah menjadikan pemandangan di beautiful York sebagai objek fotoku. Bila perlu aku akan membuat sebuah film dokumenter alam. Ah, kenapa anak-anak elit di SMA tidak brpikiran sama denganku?? Tapi, biarpun aku tak punya alat yang serba digital, cukup bagiku untuk menikmati lukisan Rudi sebagai penggantinya. Dari awal, aku sudah mengatakan bahwa Rudi itu seniman. Seperti yang sering ia muat diujung namanya M.A master Art. Amin.

Kukira lukisan Rudi jauh lebih canggih dari jepretan kamera. Ah, sudahlah. Jika dia tahu aku banyak memujinya, dia akan menjadi tak memiliki masa dan melayang ke udara karena senangnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar