Sabtu, 17 April 2010

cerpen

Almamater

Bis Bukit Indralaya merayap di atas jembatan musi 2. seperti biasa, aura nonsolidaritas diobtral. Siapa cepat, dia dapat. Kotak berjalan ini seolaha tak ada belas kasih. Yang telat, jangan harap akan duduk. Prinsipnya simpel, relakan kaki anda untuk berdiri atau duduk di kursi tembak.
Citra memindahkan tasnya di bahu kiri. Gila! Sudah l40 menit 30 detik dia berdiri. Tak satu pun kaum adam yang rela membeRikan tempat duduk. Ap istilah ladies first hanya ada di kitab kuno atau haruskah bis ini tenggelam bersama Titanic? Entahlah, bagi Citra hal itu tak masalah, tapi bagi Ibu-Ibu berseragam hijau itu sepertinya layak duduk karena usia mereka rawan osteoporosis. But...terlalu memakan waktu untuk menjelaskan pengertian solidaritas kepada calon-calon sarjana yang mengntongi individualitas.
Hp layar monocrom Citra bergetar. 1 massage. Read.
Cit, ge dmn?LEZ (TENO)
Dempetan mahasiswa di bis tak memungkinkan Citra tuk membalas sms dari Teno. Tapi wajah sang gubernur mahasiswa itu yang menerawang. Ekspresi cuek dicampur tampang intelek, hanya saja, persentasi cuek lebih dominan. Plus superduper on time. Apa itu imbas didikan orang barat saat Teno ikut shoolarship di Chicago university?
***
Bis masih menyusuri jalan lalu melewati landmark palembang bari-bari yang sudah usang. Kepala calon-calon strata satu dalam bis sIbuk dengan lamunan masing-masing.
“Aje gila, bro! liat tuh caleg-caleg sekarang!” komen cowok kribo sambil melihat postre caleg di sepanjang jalan.
“napa?” kata temennya yang memakai polo T-shirt coklat.
“ bayangin aja, ngalon anggota legislatif udah kayak beli lotre!”
“ biarin aja. Kok lo sewot,”ujar si polo T-shirt.
Pembicaran itu dikalahkan suara lagu-lasgu yang diputar di bis. Beda dengan barisan yang berdiri, penumpang di jok belakang asyik nikmatin lagu hip hop by jikustik. Bisa dianalogikan kalo musik pagi kayak sarapan pagi. Tapi ada juga komunitas yang menganggap tidur pagi juga selevel dengan musik pagi. Hallo? Apa artikel tentang penyakit beri-beri belon terbaca?
Lagi-lagi, hp butut Citra bergetar. Privat number.
“ hallo?“ suara ngebas terdengar.
“ya, hallo? Ini siapa?“ balas Citra.
“ kamu dimana sekarang? Bisa on time nggak? Jangan kerena nila setitik, rusak susu sebelanga. Analisis lagi opini kamu dan fakta publik. Jam 09.00 pagi acara mulai. Bye.“
tut..tut..tut..pembicaraan diputus tanpa jeda untuk Citra menjelaskan tentang planning pagi ini.
Tiga puluh dua kilmeter dari palembang, bis berhenti. Rupanya Ibu-Ibu berseragam tadi stop di timbangan km 32.
“mbak, silakan duduk,” tawar seorang cowok berkacamata yang tampaknyz sudh semester atas.
Citra tersenyum dan menggeleng pelan.
Sudah telat, mas. Batin Citra. Dia tetep keukeh berdiri sampai gerbang kampus. Anggap saja pagi ini dia ikut upacara bendera.
***
“ sir, si Citra amnesia ya? Masak udah jam segini belum datang!” komplen Teno.
“ sabar, ten. Mungkin dia lagi di jalan. Seng sabar,’’ jelas Basir dengan logat jawa yang medok.
Teno menghembaskan napas. Seumur-umur kuliah, baru kali ini dia menungu. Padahal, momen debat kali ni bukan main-main, yakni antarmahasiswa sumater-jawa. Sebagai tuan rumah, Teno nggak mau mengobarkan bendera putih di kandang sendiri.
Auditorium mulai dipenuhi mahasiswa-mahasiswa berjas almamater masing-masing. Panitia mulai mendata peserta. Teno sebagai ketua tim mancatat nam anggotanya.
“ saudara Teno, tim anda harus lengkap dulu baru boleh masuk,” jelas panitia.
Deengan wajah tenang, Teno mencoba menghubungi Citra. Tapi malah suara operato yang terdengar. Maaf, nomor yang anda tuju sedang sIbuk..
***
Satu per satu mahasiswa turun sesuai fakultas. Citra turun sambil membawa map merah. Kakinya setengah patah. Enam puluh menit berdiri bukanlah waktu yang sebentar. Dia langsung menuju pintu dekanat. Hari ini juga syarat-syarat beasiswa harus dikumpul. Rasanya tidak etis kalo dia gagal hanya kerena deadline alias telat. No way!
Hp Citra bergetar. Basir calling.
“ya, sir.“
“Cit, sampean dimana? Piye iki? Seng cepat ya. Acara ne mo dimulai, “jelas Basir lalu memutus pembicaraan
Lima menit sebulum lomba dimulai, Citra datang. Sumpah! Wajah di depannya seolah bukan Teno seminggu yng lalu.
“Sorry,I’m late…”
“Nggak usah sok inggris. Cepat absen,” ujar Teno sambil memakai almamater kuning.
Suasana auditorium mulai riuh-rendah. Walaupun masalah BHP sudah lama terdengar dan aksi demo mahasiswa sudah banyak di tivi-tivi, hal itu tak mengurungkan niat panitia untuk menggelar even akbar mahasiswa sumatera-jawa.
“Teno Amuk Duta, Citra Musiana, dan Basir.” panitia menyebutkan nama ketiga mahasiswa itu lalu membeRikan ID card. Setelah acara pembukaan oleh rector, panitia menerangkan kriteria lombat debat.
Sesi pertama, antaramahasiswa Banda Aceh vs mahasiswa Malang. Selanjutnya mahasiswa Medan vs mahasiswa Jogja. Debat berlangsung alot, seru, dan menebarkan. Menggambarkan mahasiswa-mahasiswa berotak encer, high class intelegentcy, dengan IQ di atas rata-rata, ditunjang kemampuan bahasa yang apik, cerdas, dan licin seperti diolesi pelumas.
“syukurlah, kita dapat sesi kedua,” kata Basir disela-sela isoma.
Teno hanya diam. Sepertinya tak sabar lagi menumpahruahkan isi otaknya yang berjuber masalah BHP. Memon ini mirip dengan deskripsi Andrea Hirata dalam Lascar Pelangi. Walau tak melewati 40 buaya sperti Lintang, Teno sudah punya argementasi superkuat dalam debat ini.
Auditorium kembali sIbuk. Walau kursi sudah banyak yang kosong, tak membuat argumentasi pesert debat jagi kosong. Di detik-detik tampil, Citra melukis wajah Ibunya di benakknya. Entah kenapa, pagi ini Ibunya mengantar Citra sampai di pagar bambu rumahnya, seolah Citra akan pergi jauh.
Tombol sesi kedua berbunyi. Teno, Citra, dan Basir maju dengan almamater kebanggaan. Argumentasi-argumentasi mereka membantai tim pro BHP. Seperti dalam pertarungan tinju, Teno dkk mengKnock-Out lawan. Tiket semi final, di pihak mereka.
“besok kita semifinal. Harus lebih baik!” pesan Teno.
Basir mengangguk penuh keyakinan.
“Cit! Citra musiana?” panggil Basir lengkap.
Citra hanya menyunggingkan senyum beberapa senti.
“yaudah, ayo masuk!” Teno mencolokkan kunci mobilnya.
Honda jazz meluncur dari lapangan parkir auditorium. Di terminal Karya Jaya, Basir stop.
“ndak mampir dulu, friend.”tawar Basir.
“thanks, Sir. si Citra kan mu diantar juga kan?” Teno melirik Citra di jok belakang.
“pindah aja ke depan Cit,“ kata Teno sedikit ramah.
“oya, kita bisa langsung ke rumah sakit?”
“kamu sakit?“
“Ibuku masuk rumah sakit“ ujar Citra pelan sambil membaca sms dari adiknya.
***
RS Muhammad Hoesan…
“Ibu masih diopname, mbak,”jelas Rika.
Teno berdiri di samping Citra dan adiknya.
“selesai nganterin mbak, Ibu ke tempat pak Rt. Tiba-tiba jantung Ibu kambuh.“
Jelas Rika denagn mata berkaca-kaca.
“tapi Ibu udah membaik,“ tambah Rika.
***
Hari ini kegiatan full di audit. Semi final dilanjutkan final. Sekarang adalah penentuan juara I, II, dan III. Ketika microphone dIbunyikan seolah detak jantung peserta debat juga terdengar. Teno Citra, dan Basir maju ke panggung. Lebel juara II sudah membeuat mereka puas. Tak bisa dipungkiri, anak-anak Jogya lebih kualifikatif. Beda beberapa poin, Teno dkk di posisi runner up. Bendera kemenangan kini di tangan.
***
Sesampai di rumh sakit, perawat memberi kabar kalau bu hafifah, Ibu Citra sudah dibawa pulang. Teno lalu mengantar Citra ke rumah. Sesampai di pagar bambu rumahnya, Citra seperti disambar gledek. Bendera kuning di pasang di sekitar rumahnya. Jendela dan pintu-pintu dIbuka lebar. Ibu-Ibu memakai jilbab hitam dan bapak-bapak berpeci sIbuk mondar- mandir. Buru-buru Citra masuk. Tanpa bertanya, dia sudah tahu arti mata Rika yang berkaca-kaca. Dilihatnya sosok tertutup kain putih dan kaku. Tiba-tiba...pandangan Citra gelap.(wiE)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar