Rabu, 14 April 2010

DIGLOSIA DAN BAHASA BAKU


DIGLOSIA DAN BAHASA BAKU


KELOMPOK V

DWI PERMATASARI NIM 06081002026

NURLI YANTI GULTOM NIM 06081002011

SYAHBANA FAJARWATI NIM 060810020

RANI ANWAR NIM 060810020

YULIANA ADHARINA NIM 060810020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN

DAERAH

JURUSAN PENDIDIKAN BAHSA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2010

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

B

Bahasa merupakan alat komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan

informasi berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara

langsung. Manusia sebagai pengguna bahasa memiliki peranan yang sangat

penting dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam bahasa terdapat variasi atau ragam

bahasa yang merupakan akibat dari keragaman sosial penutur bahasa dan fungsi

bahasa. Indonesia yang terdiri dari banyak daerah memungkinkan sebagian besar

daerah mempunyai dan menggunakan lebih dari satu bahasa yaitu bahasa daerah

dan bahasa Indonesia. Fenomena penggunaan lebih dari satu bahasa ini

dinamakan diglosia. Diglosia terjadi apabila dalam suatu masyarakat terdapat dua

bahasa (variasi) atau lebih yang saling berdampingan satu sama lain dalam

pemakaiannya dan mempunyai fungsi sosial tertentu yang disadari pemakaiannya

yang merupakan ciri penting dalam situasi diglosia

1.2. RUMUSAN MASALAH

1.3. TUJUAN

1.4.MANFAAT

2. PEMBAHASAN

2.1. Diglosia dan Bahsa Baku

2.1.1 Pengertian Diglosia

Diglosia berasal bahasa Prancis yaitu digglosie yang pernah digunakan oleh Marcais. seorang linguis Prancis. Tetapi istilah itu terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanfort University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam situasi simposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Assosiation di Washington DC. Kemudian Fergusom ,menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Doglosia” yang dimuat dalam majalah Word tahun 1959. artikel ini kemudian dimuat juga dalam Hymes (ed.) Language in culture and Society (1964:429-439) dan dalam Giglioli (ed.) language and Social Contect (1972) hingga kini artikel Ferguson ini dipandangs ebagai refrensi klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold (1984) ada membicarakannya juga.

Diglosia adalah suatu situasi bahsa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dangan tidak resmi atau non-formal. Contohnya misalnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahsa lisan.Diglosia adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kator dan ragam atau bahsa B untuk suasana ‘intim’ di rumah). Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie uang diserap dari bahas Yunani oleh bahasawan Yunani Loanni Psycharis. Pada tahun 1930, istilah ini digunakan juga oleh ahli bahasa Arab, William Marcais.

Diglosia (diglossia) adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas varian-varian bahasa yang ada. Satu varian diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau pengggunaan public dan mempunyai cirri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, varian lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.( Kridalaksana,2008:50)

Menurut henscyber dalam http://anaksastra.blogspot.com, diglosia adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat, tetapi masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial. Ada pembagian peranan bahasa dalam masyarakat dwibahasawan terlihat dengan adanya ragam tinggi dan rendah, digunakan dalam ragam sastra dan tidak, dan dipertahankan dengan tetap ada dua ragam dalam masyarakat dan dilestarikan lewat pemerolehan dan belajar bahasa.

Chaer dan Agustina (1995: 148) menerangkan bahwa Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakankeadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup bedampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Bila disimak, definisi Ferguson memberikan pengertian:

(1) diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah diale-dialek utama ( lebih tepat ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.

(2) Dialek-dialek utama itu diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.

(3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :

· Sudah sangat terkodifikasi

· Gramatikalnya lebih komplek

· Merupakan wahana kesusatraan tertulis yang sangat luas dan dighormati

· Dipelajari melalui pendidikan formal

· Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal

· Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.

2.1.2. Topik-topik Diglosia

Masih dijelaskan oleh Chaer dan Agustina (1995: 150), Ferguson membicarakan diglosia itu dengan mengambil cotoh empat buah masyarakat tutur dengan bahasa mereka. Keempat masyarakat itu adalah masyarakat tutur bahasa Arab, Yunani modern, Jerman Swis, dan Kreol Haiti. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan sembilan topik , yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.

a. Fungsi

Funsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson, dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasidari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi ( disingkat dengan dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat R atau ragam R). Dalam bahasa arab dialek T nya adalah bahasa Arab Klasik, bahsa Alquran, yang lainnya disebut al-fusha, dialek R-nya adalah berbagai bentuk bahasa arab yang digunakan oleh bangsa Arab yang lazim disebut ad-darij

Sementar dalam bahasa Indonesia, kita juga mengenal adanya bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa rtersebut, dialek T-nya bahasa Jawa halus atau kromo Engge) sedangkan ragam R-nya adalah bahasa Jawa kasar. Begitu pun pada bahasa palembang. Dapat pula ditemukan dua varian dari bahasa palembang, dialek T-nya bahasa palembang Alus dan dialek R-nya bahasa Palembang Kasar.

Distribusi fungsional dialek T dan R dari masing-masing bahasa mempunyai arti bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan dan dalam situasi lain, hanya dialek R yang digunakan. Fungsi T hanay paad situasi tresmi atau formal, sedangkan fungsi R han ya pada situasi informal dan santai.Bagan berikut Ferguson memperlihatkan kapan digunakan dialek T dan bagaimana digunakan pula dialek R.

Situasi

digunakan

T

R

Kebaktian di gereja

V

-

Perintah kepada pekerja, pelayan, dan tukang

-

V

Surat pribadi

-

V

Pembicaraan di parlemen

V

-

Perkuliahan di universitas

V

-

Percakapan dengan keluarga dan teman sejawat

-

V

Siaran berita

V

-

Sastra raktyat

-

V

Editorial di surat kabar

V

-

Komentar kartun politik

-

V

Pengunaan dialek T yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penurut bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R tetapi banyak anggota masyarakat 7yang beranggapan bahwa ha ya sastra atau puisi dalam dialek T – lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa. Dalam pendidikan formal dialek T harus digunakan sebagai bahasa pengantar. Namun seringkali sarana kebahasaan dialek T tidak mencukupi. Oleh karena itu dibantu oelh menggunakan dialek R. Di Indonesia juga ada pembedaan ragam T dan ragan R bahasa Indonesia. Ragam T digunakan dalam situasi formal, seperti dalam pendidikan, sedangkan ragam R digunakan dalam situasi nonformal seperti dalam pembicaraan dengan teman karir dan sebagainya.

b. Prestise

Dalam masyarakat diglosis, para penutur menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupaakn bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inperior, malah ada yang menolak keberadaannya. Menurut Ferguson, banyak orang Arab dan haiti terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak perlu dipergunakabn meskipun dalam percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek R. Itu anjuran golongan terpelajar Arab dan haiti. Itu tentu saja merupakan kekeliruan sebab dialek T dan dialek R mempunyai fungsi masing-masing yang tidak dapt dipertukarkan. Dalam masyarakat Indonesia pun ragam bahasaIndonesi baku dianggap lebih bergengsi daripada bahas Indonesia non-baku. Dalam masyarakat Melayu/Indonesia, beberapa puluh tahun yang lalu, juga ada pembedaan bahasa Melayu T dan R. Dimana yang pertama menjadi abhasa sekolah dan yang kedua menjadi bahasa pasar.

c. Warisan Kesusastraan

Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh, tedapat kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. Tradisi kesusastraan ayng selalu dalam ragam T ini ( setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum. Namun, kesusastraan itu tetap berakar, baik di negara-negar berbahasa Arab, bahasa Yunani di Yunani, bahasa Perancis di Haiti, dan bahasa Jerman di Swiss yang berbahasa Jerman.

d. Pemerolehan

Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperolah dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oelh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali. Begitu juga mereka yang keluar dari pendidikan Formal kelas-kelas awal. Mereka yang mempelajari ragam T hampir tidak pernah menguasainya dengan lancar, selancar penguasaannya terhadap ragam R. Di Indonesia pun banyak orang merasa sukar untuk mengunakan bahasa Indonesia ragam baku, baik lisan maupun tulis. Betapa banyak kritik dilontarkan orang menegnai kesalahan untuk berbahasa Indonesai “yang baik dan benar”. Ini menunjukkan bahwa menggunakan bahasa ragam T memang tidak semudah menggunakan ragam R. Untuk menguasai ragam T, kita harus belajar secara formal, tetapi juga untuk menguasai ragam R, kemungkinan tidak perlu.

e. Standardisasi

Menanggapi ragam T yang dipandang sebagai ragam bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melaui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaida untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Sebaliknay ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada kajian yang menyingung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalaupun ada, biasanya dilakukan oleh peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan ditulis dalam bahasa lain. Sebagai ragam yang dipilih, yang distandardisasikan, maka ragam T jelas akan menjadi ragam yang lebih bergengsi dan dihormati.

f. Stabilitas

Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan kareana adanya perkembangan dalm bentuk- bentuk campuran yang memiliki ciri ciri ragam T dan R. Peminjaman unsur leksikal ragam T kedalam ragam R bersifat biasa, tetapi penggunaan unsur leksikal ragam R dalam ragam T kurang begitu biasa, sebab baru digunakan kalau sangat terpaksa.

g. Gramatika

Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan R dalam diglosis merupakan bentuk bentuk dan bahasa yang sama namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Umpamanya, dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasusu nomina dan dua tenses indikatif sederhana, sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tiga kasusu nomina, dan dua tenses sederhana. Nomina bahasa Prancis menunjukan agreement dalam jumlah dan jenis (gender) , sedangakan nomina Kreol Haiti tidak memiliki hal itu. Dalam ragam T adanya kalimat- kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artifisial.

h. Leksikon

Sebagian besar kosa kata pada ragam T dan R adalah sama. Namun, ada kosa kata pada ragam T yang tidak ada pasanganya pada ragam R atau sebaliknya, ada kosa kata pada ragam R yang tidak ada pasanganya pada ragam T. Ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosa kata yang berpasangan, satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R, yang biasanya untuk konsep konsep yang sangat umum. Umpamanya dalam bahasa Yunani “ rumah” untuk ragam T adalah ikos dan untuk ragam R adalah spiti. Dalam bahsa indonesia kita pun dapat mendaftarkan sejumlah kosa kata yang berpasangan sebagai baku dan tidak baku. Antara lain, uang dan duit, buruk dan jelek.

i. Fonologi

Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh. Ferguson sistem bunyi ragam R dan T sebenarnya merupakan sistem tunggal, namun fonologi, T merupakan sistem dasar sedangkan fonologi R yang beragam ragam, merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi T lebih dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahas secara keseluruhan. Fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.

Pada bagian akhir dari artikelnya itu Ferguson mengatakan bahwa suatu masyarakat diaglosis bias bertahan / stabil waktu ayng cukup lama meskipun terdapat “tekanan –tekana” yang dapat melunturkannya. Tekanan tekanan itu antara lain, (1) meningkatnay kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada suatu Negara. (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis, (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.

Konsep Ferguson mengenai diglosia, bahwa didalam masyarakat diglosia ada perbedaan ragam bahasa T dan R dengan fungsinay masing- masing dimodifikasi dan diperluas oleh Fishman (1972:92). Menurut Fishman diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T an ragam R pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun , atau pada dua bahasa yang berlainan. Jadi , yang menjadi tekanan bagi Fishman adalah adanya perbedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan.

Kalau Feguson melihat diglosia hanya sebagai adanya perbedaan fungsi ragam T dan R dalam sebuah bahasa, maka fishman melihat diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan stilistik dari sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua bahasa yang berbeda. Jadi, didalamnya termasuk perbedaan yang terdapat antara dialek , register, atau variasi bahasa fungsional (Fishman ,1972)

2.1.2. BAHASA BAKU

Bahasa baku atau bahasa standar adalah 1. ragam bahasa yang dialeknya dipakai dalam situasi resmi dan dianggap paling baik, seperti dalam perundang-undangan, surat menyurat resmi, pembicaraan di depan umum,dsb.2. bahasa peraturan dalam bahasa yang mempunyai banyak bahasa. Bahasa standar ialah bahasa yang diterima untuk dipakai di situasi resmi. Seperti dalam perundang-undangan dan surat menyurat Bahasa baku adalah salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok, yang dijadikan dasar ukuran atau yang dijadikan standar. (Chaer, 2004:4)

Bahasa baku adalah ragam ragam bahasa yang cara pengucapannya dan penulisannya sesuai dengan kaidah-kaidah standar. Kaidah standar dapat berupa pedoman ejaan (EYD), tata bahasa baku, dan kamus umum. Sebaliknya, bahasa tidak baku adalah ragam bahasa yang cara pengucapan atau penulisannya tidak memenuhi kaidah-kaidah standar tersebut.

Dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_baku, dijelaskan bahwa Bahasa baku ialah satu jenis bahasa yang menggambarkan keseragaman dalam bentuk dan fungsi bahasa, menurut ahli linguistik Einar Haugen. Ia dikatakan sebagai "loghat yang paling betul" bagi sesuatu bahasa.

Ragam bahasa baku itu merupakan ragam bahasa yang standar, bersifat formal. Tuntutan untuk menggunakan ragam bahasa seperti ini biasa ditemukan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat formal, dalam tulisan-tulisan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi), percakapan dengan pihak yang berstatus akademis yang lebih tinggi, dan sebagainya. Kamus Linguistik (2001: 184) mendefinisikan ragam resmi (baku) itu sebagai ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (mis. surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis), atau bila pembicaraan dilakukan di depan umum.

http://indonesiasaram.wordpress.com/2008/03/18/ragam-bahasa-baku/

Keseragaman dalam bentuk bererti bahawa bahasa baku sudah dikodifikasikan, baik dari segi ejaan, peristilahan, mahupun tatabahasa, walaupun kodifikasi bahasa itu tidaklah semestinya merupakan penyeragaman kod yang mutlak. Misalnya, dalam tatabahasa sudah ada rumus morfologi Melayu yang menetapkan bahawa konsonan k pada sesuatu kata dasar digugurkan apabila diberi awalan meN; umpamanya kasih menjadi mengasihi, dan ketat menjadi mengetatkan. Tetapi dengan masuknya kata asing yang mengandungi gugus konsonan pada awal kata, rumus tersebut diberi rumus tambahan, iaitu untuk kes tersebut, konsonan k tidak digugurkan apabila diberi awalan meNG; umpamanya kritik menjadi mengkritik.

Dari segi fungsi, bahasa baku dapat menjadi unsur penyatu, unsur pemisah dan pemberi prestij kerana:

  • Unsur penyatu: digunakan oleh orang-orang daripada pelbagai daerah loghat;
  • Unsur pemisah: memisahkan bentuk bahasa baku itu daripada loghat-loghat lain dalam bahasa itu; dan
  • Pemberi prestij: digunakan oleh segolongan orang dalam suasana tertentu, biasanya dalam urusan rasmi; umpamanya laporan, surat, surat pekeliling, borang, radio, televisyen, dan sebagainya.

Walau bagaimanapun, ketiga-tiga fungsi ini dianggap oleh Paul Garvin sebagai fungsi perlambangan.

Dalam konteks pentadbiran dan pengurusan, fungsi yang harus ditekankan ialah fungsi objektif, iaitu bahasa baku sebagai rangka rujukan untuk menentukan salah-betulnya penggunaan bahasa. Jika fungsi objektif ini tidak ditegaskan, nescaya bahasa yang digunakan dalam pentadbiran dan pengurusan akan berbeza-beza bentuknya. Apabila hal ini terjadi, maka kecekapan pentadbiran dan pengurusan akan tergugat

Penggunaan ragam bahasa baku dan tidak baku berkaitan dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Ragam bahasa baku biasanya digunakan dalam situasi resmi, seperti acara seminar, pidato, temu karya ilmiah, dan lain-lain. Adapun ragam bahasa tidak baku umumnya digunakan dalam komunikasi sehari-hari yang bersifat tidak resmi.

Ragam bahasa baku ini lazim digunakan dalam:

· Komunikasi resmi, yakni dalam surat menyurat resmi, surat menyurat dinas, pengumuman-pengumuman yang dibuat oleh instansi resmi, perundang-undangan, penamaan dan peristilahan resmi, dan lain sebagainya.

· wacana teknis, seperti laporan resmi, karangan ilmiah, buku pelajaran, dan sebagainya.

· pembicaraan di depan umum, seperti dalam ceramah, kuliah, khotbah, dan sebagainnya.

· pembicaraan dengan orang yang dihormati, dan lain sebagainya.

Pemakaian (1) dan (2) adalah didukung oleh ragam bahasa baku tertulis, sedangkan pemakaian (3) dan (4) didukung oleh ragam bahasa lisan.

Kata-kata baku adalah kata-kata yang standar sesuai dengan atauran kebahasaan yang berlaku, didasarkan atas kajian berbagai ilmu, termasuk ilmu bahsa dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kebakuan kata amat ditentukan oleh tinjauan disiplin ilmu bahasa dari berbagai segi yang ujungnya menghasilkan suatu bunyi yang amat berarti sesuai dengan konsep-konsep yang disepakati terbentuk. Kata baku dalam bahasa Indonesia memedomani pedoman umum pembentukan istilah yang telah ditetapkan oleh pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa bersamaan ditetapkannya pedoman system penulisan dalam Ejaan Yang Disempurnakan. Dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI) diterangkan sitem pembentukan istilah serta pengindonesiaan kosa kata atau istilah yang berasal daribahasa asing. Bila kita memedomani system tersebut akan terlihat keberaturan dan kemanapan bahasa Indonesia.

Kata baku sebenarnya merupakan kata yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan. Konteks penggunaannya adalah dalam kalimat resmi, baik lisan maupun tertulis dengan pengungkapan gagasan secara tepat. Suatu kata bisa diklasifikasikan tidak baku bila kata yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang ditentukan. Biasanya hal ini muncul dalam bahasa percakapan sehari-hari, bahasa tutur.

Baku-tidak baku

Apotek-apotik

Atlet-atlit

Cenderamata-cinderamata

Konkret-konkrit

Sistem-sistim

Telepon-tilipon

Pertanggungjawaban-pertanggung jawaban

Utang-hutang

Pelanggan-langganan

Hakikat-hakekat

Kaidah-kaedah

Dipersilakan-dipersilahkan

Anggota-anggauta

Pihak-fihak

Disahkan-disyahkan

Lesung pipi-lesung pipit

Mengubah-merubah

Mengesampingkan-mengenyampingkan

Kualitas-kwalitas

Teater-theatre

Struktur-structure

Monarki-monarkhi

Devaluasi-defaluasi

Abstrak-abstrac

Kultur-culture

Deputi-deputy

Sekuriti-security

Aktivitas-aktifitas

Relatif-relative

Repertoar-repertoire

Teknologi-tekhnologi;technologi

Elektronik-electronik

Kenduite-kondite

Akuarium-aquarium

Ragam baku dan tidak baku

Pada dasarnya ragam tulisan dan ragam lisan terdiri pula atas ragam baku dan ragam tidak baku. Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan atau diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakaiannya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai oleh cirri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku.

Ragam baku itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. Kemantapan dinamis

Mantap artinya sesuai dengan Kidah bahasa. Kalau kata ‘rasa’ dibubuhi awalah ‘per-‘ akan terbentuk kata perasa. Oleh karena itu, menurut kemantapan bahasa, kata rajin dibubuhi pe- akan menjadi perajin. Bukan pengrajin. Bentuk-bentuk lepas tangan, lepas pantai, lepas landas merupakan contoh dari kemantapan kaidah bahsa baku. Sedangkan dinamis artinya tidak statis, tidak kaku,. Bahasa baku tidak menghendaki adanya bentuk mati. Kata langganan mempunyai makna ganda yaitu orang yang berlangganan. Dalam hal ini, tokohnya disebut langganan dan orang yang berlangganan itu disebut pelanggan.

2. cendekia

Ragam baku bersifat cendekia karena ragam baku dipakai pada tempat-tempat resmi. Pewujud ragam baku ini adalah orang-orang yang terpelajar. Hal ini dimungkinkan oleh pembinaan dan pengembangan bahasa lebih banyak melalui jalur pendidikan fotrmal (sekolah). Disamping itu, ragam bahasa baku dapat dengan tepat memberikan gambaran apa yang ada dalam otak pembicara atau penulis. Selanjutnya, ragam baku dapat memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca. Contoh kalimat yang tidak cvendekia adalah sebagai berikut: rumah sang jutawan yang aneh akan dijual. Frase rumah sang jutawan yang aneh mengandung konsep ganda, yaitu rumahnya yang aneh atau sang jutawan yang aneh. Dengan demikian kalimat itu tidak memberikan informasi yang jelas. Agar menjadi cendekia kalimat tersebut harus diperbaiki sebagai berikut:

a. rumah aneh milik sang jutawan akan dijual.

b. Rumah milik sang jutawan aneh akan dijual.

3. seragam

Ragam baku bersifat seragam. Pada hakikatnya, proses pembekuan bahasa ialah proses penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah pancaran titik-titik keseragaman. Pelayan kapal terbang dianjurkan untuk memakai istilah pramuniagara dan pramuniagari andaikata ada orang yang mengusulkan bahwa pelayan kapal terbang disebut steward dan stewardes dan penyerapan itu seragam, kata itu menjadi ragam baku. Akan tetapi, kata steward dan steward3es sampai saat ini tidak disepakati untuk dipakai. Yang timbul dalam masyarakat ialah pramuniagara dan pramuniagari.

FUNGSI BAHASA BAKU

Secara umum, fungsi bahasa baku adalah sebagai berikut:

  1. pemersatu, pemakaian bahasa baku dapat mempersatukan sekelompok orang menjadi satu kesatuan masyarakat bahasa.
  2. pemeberi kekhasan, pemakaian bahasa baku dapat menjadi pembedadengan pemakaian bahasa lainnya.
  3. pembawa kewibawaan, pemakaian bahasa baku dapat memperlihatkan kewibawaan pemakainya.
  4. kerangka acuan, bahasa baku menjadi tolak ukur bagi benar tidaknya bahasa seseorang atau sekelompok orang.

CIRI-CIRI BAHASA BAKU

Bahasa baku memiliki cirri-ciri berikut:

1. tidak dipengaruhi bahasa daerah

baku: saya, merasakan, ayah, dimantapkan.

Tidak baku: gue, ngrasa, bokap, dimantapin.

2. tidak dipenagruhi bahasa asing

baku: banyak guru, itu benar, kesempatan lain.

Tidak baku: banyak guru-guru, itu adalah benar, lain kesempatan.

3. bukan merupakan bahasa percakapan

baku : bagaimana, begitu, tidak, menelpon.

Tidak baku: gimana, gitu, nggak, nelpon.

4. Pemakaian imbuhan secara eksplisit

Baku: ia mendengarkan radio, anak itu menangis, kami bermain bola di lapangan.

Tidak baku: ia dengarkan radio, anak itu nangis, kami main bola di lapangan.

5. pemakaian yang sesuai dengan konteks kalimat

baku: sehubungan dengan, terdiri atas/dari, seorang pasien, dan lain sebagainya, siapa namamu?

Tidak baku: sehubungan, terdiri, seseorang pasien, dan sebagainya, siapa namanya?

6. tidak mengandung makna ganda, tidak rancu

baku: menghemat waktu, mengatasi berbagai ketinggalan.

Tidak baku: mempersingkat waktu, mengejar ketinggalan.

7. tidak mengandung arti pleonasme

baku: para juri, mundur, pada zaman dahulu, hadirin.

Tidak baku: para juri-juri, mundur ke belakang, pada zaman dahulu kala, para hadirin.

8. tidak mengandung hiperkorek

baku: khusus, sabtu, syah, masyarakat, akhir.

Tidak baku: husus, saptu, masarakat, ahir.

Ragam bahasa baku itu merupakan ragam bahasa yang standar, bersifat formal. Tuntutan untuk menggunakan ragam bahasa seperti ini biasa ditemukan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat formal, dalam tulisan-tulisan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi), percakapan dengan pihak yang berstatus akademis yang lebih tinggi, dan sebagainya.

Kamus Linguistik (2001: 184) mendefinisikan ragam resmi (baku) itu sebagai

ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (mis. surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis), atau bila pembicaraan dilakukan di depan umum.

http://indonesiasaram.wordpress.com/2008/03/18/ragam-bahasa-baku/

DAFTAR PUSTAKA

Waridah, Ernawati. 2008. EYD dan Seputar Kebahasaan Indonesia. Jakarta :

Kawanpustaka.

Anonim. 2010. Bahasa Baku. (online), http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_baku

, diakses tanggal 13 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar